Ditengah Pandemi, Bisnis Co-living di Gemari Masyarakat

Suaraterkini, Jakarta, kemunculan co-living telah membantu banyak kaum millennial memecahkan permasalahan hunian tak fleksibel ataupun berharga sewa mahal. Apalagi, co-living juga menyediakan berbagai event serta fasilitas umum yang dapat membantu terbangunnya jalinan hubungan antar penghuninya.

Di kala banyak pekerja didorong untuk bekerja di rumah, mereka yang tinggal di lingkungan co-living justru tidak perlu mengorbankan kenyamanan semasa bekerja karena tetap dimungkinkan untuk menjaga komunikasi serta kondusivitas kerja di dalam ruang komunal.

Sebagai pekerja digital media lepas di Jakarta, Fati (24) memiliki kebebasan untuk memilih tempat kerjanya. Namun, Ia memutuskan untuk menyewa ruang co-working di Mega Kuningan. Pilihan tersebut didasari oleh adanya kemungkinan untuk melakukan networking, hingga tersedianya acara mingguan hingga fasilitas macam WiFi berkecepatan tinggi.

Sebelum Pemerintah Jakarta mendorong warganya untuk bekerja dari rumah pada awal Maret, Fati biasa menghabiskan 15 menit waktu perjalanan ke tempat kerja dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living bernama Flokq. Selama pandemi, Ia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-livingnya, dan sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang juga biasa Ia rasakan di tempat kerjanya.

BACA JUGA:  Natal dan Tahun baru, Brun Hadirkan Dua Varian Coklat Baru

“Beberapa waktu terakhir, aku meluangkan lebih banyak waktu di apartemenku. Flokq menyediakan internet yang cepat, dan aku juga merasa mudah melakukan pekerjaan di ruang komunal bersama teman-teman flat. Ini terasa nyaman, dan sepertinya aku akan melanjutkan gaya kerja seperti ini bahkan setelah pandemi selesai,” jelas Fati.

Potensi perubahan tren dari co-working menjadi co-living turut disadari oleh Garry (32), entrepreneur startup di Jakarta. Meskipun tinggal di ruang co-living yang disediakan oleh Flokq di kawasan Senopati, Ia tetap mampu bekerja sama dengan timnya yang berhunian di ruang co-working di kawasan Mega Kuningan. Selama pandemi, Garry tetap menjaga koordinasi dengan timnya, selagi Ia sendiri dapat membangun network dengan penghuni co-living lain di tempat yang Ia huni.

“Pembatasan sosial umumnya akan mengurangi terjadinya pertemuan ataupun acara-acara lain. Tapi bagi saya resiko tersebut tidak begitu berpengaruh, karena saya tetap dapat bertemu dan membangun network dengan orang-orang yang berada di lingkungan co-living,” jelas Garry.

Sejalan dengan banyaknya bisnis yang terimbas akibat pandemi ini, Garry pun berupaya memotong biaya operasional dengan mendorong timnya untuk melakukan kerja jarak jauh. Dari situ, Ia bahkan berencana mengakhiri sewa ruang co-working-nya, dan sebagai ganti, bekerja jarak jauh sepenuhnya dari ruang co-living yang Ia huni sekarang.

BACA JUGA:  Speedy Grater Parutan Modern untuk Para Ibu Milenial

Lebih jauh, Garry juga menjelaskan, ini merupakan masa-masa yang sulit, bukan hanya bagi usaha miliknya, namun juga orang lain. Rekan-rekan dia yang sesama pengusaha startup juga mempertimbangkan untuk mengakhiri masa sewa ruang co-working mereka.

“Memang, ada kelebihan yang tidak dapat dipungkiri dari ruang kerja konvensional. Namun, secara pribadi saya merasa hal itu bukan masalah karena saya tinggal di ruang co-living, dan saya juga tengah coba menerapkan gaya kerja jarak jauh untuk tim saya.” pungkas Garry.

Cerahnya bisnis co-living di masa depan juga sudah diprediksi oleh Akash Mulani, Flokq Advisior and Director Real Estate Investment Firm, di  Australia. Ia mengaku malah sedang menggodok konsep bisnis baru setelah melihat dampak pandemi saat ini.

“Kami sangat yakin akan masa depan co-living terkait kondisi masyarakat dan ekonoi saat ini yang terdampak COVID-19. Kegiatan isolasi mandiri yang saat ini banyak dilakukan masyarakat berarti akan mengurangi interaksi manusia dan dapat menurunkan kualitas kesehatan mental.” kata Akash.

BACA JUGA:  Coca-Cola Amatil Indonesia Serahkan Tong Sampah Terpilah

“Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Dengan kebijakan WFH yang kian menjadi umum, masyarakat membutuhkan ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena memiliki persamaan minat dan latarbelakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan per bulannya,” jelas Akash.

“Dibandingkan dengan kost-kostan, co-living dapat menjamin semua kualitas itu. Co-living dan Co-working dalam gedung yang sama, adalah sebuah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan,” pungkas Akash .