SUARATERKINI, Jakarta – Di tengah gencarnya berbagai program kesehatan nasional seperti pemeriksaan kesehatan gratis, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), skrining penyakit tidak menular (PTM), distribusi makanan bergizi gratis bagi anak sekolah, serta pencegahan stunting, muncul satu tantangan fundamental yang kerap diabaikan: persepsi dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya kesehatan itu sendiri.
Peneliti bidang Kedokteran Komunitas, Dr. Ray Wagiu Basrowi, mengungkapkan bahwa banyak kegagalan dalam efektivitas program kesehatan publik disebabkan oleh lemahnya kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap urgensi perilaku hidup sehat.
Berdasarkan sejumlah penelitian perilaku kesehatan yang ia lakukan, pendekatan Health Belief Model (HBM) terbukti dapat menjadi intervensi kunci dalam mengatasi hambatan tersebut.
Temuan ini dituangkan secara komprehensif dalam buku terbarunya berjudul “Sehat Setengah Hati – Interpretasi Paradoks Health Belief Model”, yang resmi diluncurkan hari ini, Kamis (28/5), di Jakarta.
“Sebesar apa pun investasi negara dalam sektor kesehatan akan menjadi sia-sia apabila masyarakat tidak merasa rentan, tidak yakin terhadap manfaat tindakan preventif, atau menganggap dirinya masih muda dan sehat sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan dini,” jelas Ray.
“Inilah mengapa pendekatan Health Belief Model harus diintegrasikan ke dalam strategi komunikasi dan implementasi program kesehatan secara menyeluruh.”
HBM sendiri merupakan kerangka teoritis yang telah digunakan secara luas secara global sejak tahun 1950-an. Model ini menekankan enam dimensi psikologis utama:
1. Perceived Susceptibility (kerentanan yang dirasakan),
2. Perceived Severity (tingkat keparahan yang dirasakan),
3. Perceived Benefits (manfaat yang dirasakan),
4. Perceived Barriers (hambatan yang dirasakan),
5. Cues to Action (pemicu tindakan), dan
6. Self-Efficacy (keyakinan diri untuk bertindak).
Menurut Ray, berbagai program preventif di Indonesia, dari vaksinasi, pemeriksaan gula darah, hingga kampanye gaya hidup sehat seringkali gagal karena tidak mempertimbangkan secara menyeluruh enam dimensi tersebut dalam desain maupun penyampaiannya.
Salah satu contoh nyata adalah program pemeriksaan kesehatan gratis dan deteksi dini penyakit tidak menular. Meski sudah tersedia secara luas, banyak masyarakat tidak memanfaatkannya karena merasa “belum perlu” atau “tidak mengalami gejala.”
Hadir sebagai narasumber dalam peluncuran buku, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K), Menteri Kesehatan RI 2014–2019, menekankan pentingnya konsep HBM dalam mendukung kebijakan kesehatan nasional.
“Pendekatan ini adalah bentuk intervensi strategis berbasis ilmiah yang mampu meningkatkan efektivitas program kesehatan publik. Buku ini seharusnya menjadi bacaan wajib bagi para pengambil kebijakan dan pelaksana program kesehatan,” ujarnya.
Sementara itu, figur publik dan pemengaruh kesehatan, Rory Asyari, juga menyoroti pentingnya HBM dalam membantu para praktisi dan influencer kesehatan dalam menyampaikan pesan edukatif yang tepat sasaran.
“Dengan mengintegrasikan konsep HBM, pesan-pesan kesehatan menjadi lebih kontekstual dan relevan bagi masyarakat. Ini sangat penting untuk memperkuat edukasi publik,” tegas Rory.
Sebagai pendiri Health Collaborative Center (HCC), Ray Wagiu Basrowi juga menyerukan agar pendekatan HBM tidak hanya diterapkan dalam komunikasi, tetapi juga dalam pelatihan kader kesehatan dan desain program perubahan perilaku.
Ia menambahkan bahwa perlu dikembangkan indikator-indikator baru, seperti tingkat “kepercayaan” dan “pemaknaan sehat”, sebagai bagian dari evaluasi keberhasilan program kesehatan nasional.
Dengan kehadiran buku ini, diharapkan pemahaman masyarakat tentang kesehatan tidak lagi setengah hati, melainkan menjadi kesadaran utuh yang didorong oleh kepercayaan, pengetahuan, dan keberdayaan diri untuk hidup sehat secara berkelanjutan.